
Menurut CIFOR, hutan tropis kering di dunia begitu luas namun dalam kondisi yang terancam, salah satunya adalah di NTT, Indonesia. Sayangnya, masih sedikit sekali literasi ilmiah terkait ini. Maka dari itu, Yayasan Puge Figo (YPF) melaksanakan Diagnosa Forest di Flores, sebuah penelitian untuk mengetahui jenis hutan apa saja yang ada, apa hubungan manusia dengan hutan disana, apakah modernisasi menyebabkan perubahan pandangan manusia kepada hutan, dan apa saja yang menjadi ancaman bagi hutan.
Diagnosa Forest dilaksanakan oleh Tim Botani YPF yang dibentuk pada tahun 2022, mereka melakukan penelitian ekologi dan etnologi khususnya di Kec. Riung, Kec. Riung Barat, dan Kec. Wolomeze. Secara umum, ekologi adalah ilmu mengenai hubungan antara mahluk hidup dan mahluk hidup lain, serta lingkungan sekitarnya. Sedangkan etnologi adalah ilmu yang mempelajari manusia dalam kebudayaannya. Dengan melihat kedua aspek tersebut, tim botani memperoleh data yang akan dijadikan landasan oleh Yayasan Puge Figo dalam merencanakan program reforestasi kedepannya.

Terdapat dua zona hutan studi yaitu Hutan Wolomeze yang memiliki iklim pegunungan dengan batuan vulkanik dan Hutan Riung yang memiliki iklim laut perbukitan dengan batuan kapur. Tim botani mengambil data pada 60 plot yang tersebar di sekitar kampung hingga di tengah-tengah hutan. Plot berukuran 20 x 20 m dibuat, pada masing-masing plot tersebut, tim botani mendata seluruh jenis pohon, belukar, epifit, dan liana dalam bahasa daerah, mencatat ketinggian pohon, dan mengukur keliling pohon yang lebih dari 47 cm.
Pada salah satu sudut dalam plot, dibuat plot yang lebih kecil yaitu 4 x 4 m. Dalam plot yang lebih kecil ini, tim botani mendata semua rumput rumputan, lalu mengukur keliling pohon dengan lingkar dibawah 47 cm. Tim juga mencatat jenis topografi, kecuraman lereng, penahanan, hingga exposure, dan mengambil sampel tanah.

Dalam satu minggu, tim botani dapat menyelesaikan sekitar 7 plot dengan menempuh jarak yang jauh dan kondisi jalur belum terbuka. Tim botani seringkali berhadapan dengan tantangan cuaca yang tidak menentu, kadang juga bertemu dengan ular dan serangga yang mengganggu. Mereka ditemani oleh guide lokal dan terbiasa tidur di tenda serta memasak bersama. Dalam kesempatan tersebut, mereka menghabiskan waktu dengan berbagi cerita tentang sejarah dan budaya daerah, data ini juga memiliki nilai yang berarti penting dalam Diagnosa Forest.
Untuk data etnologi, metode pengambilan datanya adalah pemetaan partisipatif di 28 kampung dan kuesioner di 2 kampung. Masyarakat desa diajak untuk menggambar sendiri peta daerah mereka, sehingga tim botani dapat melihat sudut pandang masyarakat terhadap daerahnya melalui tema budaya, hutan, dan ekonomi. Kemudian pada kampung yang dipilih dari hasil pemetaan partisipatif tersebut, tim botani melakukan kuesioner untuk mendapatkan data yang lebih tepat tentang hubungan manusia dan hutan. Dalam metode kuesioner, tim botani mewawancarai orang-orang di kampung mengenai hutan dan kegiatan apa saja yang dilakukan disana.



Selama di lapangan, tim botani juga mengumpulkan herbarium kering dan herbarium foto untuk mengidentifikasi jenis tumbuhan dengan lebih tepat. Di kampung, tim melakukan diskusi panjang dengan orang-orang tua untuk memastikan identifikasi tersebut dan menanyakan deskripsi serta penggunaan masing-masing jenis tumbuhan secara tradisional.
Kegiatan lapangan Diagnosa Forest selesai pada pertengahan tahun 2023, hasil analisanya kemudian dipresentasikan kembali pada masyarakat. Pertemuan untuk mempresentasikan hasil dari Diagnosa Forest tersebut dilakukan pada 7 Februari 2024 di Kantor Desa Nginamanu. Dalam kesempatan teresebut, Yayasan Puge Figo memberikan sertifikat sebagai tanda apresiasi kepada para guide lokal yang telah membantu dan menemani tim botani selama program Diagnosa Forest.

“Walaupun kita tidur di tengah hutan itu dingin, dan banyak kutu-kutu hutan yang gigit kaki kita. Karena programnya menarik, tantangannya jadi tidak terasa.. Rasanya hanya bahagia sekali! Selain itu, program ini menambah pengetahuan saya, tanpa harus mengeluarkan biaya.. Kemudian, hari ini kami dapat sertifikat ini, rasanya luar biasa!” ujar Karolus Nggori, guide lokal dari Nginamanu Barat.
Hendrikus Tulung, guide lokal dari Desa Mbarungkeli, juga menyampaikan kesan pesannya, “Senang sekali, bisa menemukan jati diri dalam proses belajar ini, menambah ilmu pengetahuan dan wawasan saya. Lalu, sebagai generasi penerus, saya juga jadi bisa melihat lebih dekat bagaimana perkembangan lingkungan hidup di desa saya tercinta.”.


Hasil dari Diagnosa Forest juga memberikan rekomendasi-rekomendasi bagi program reforestasi di Flores yang dijalankan oleh Yayasan Puge Figo. Salah satunya, yaitu rekomendasi 15 jenis tanaman tahan api. Kebakaran hutan yang terjadi di Flores setiap tahun memang merupakan ancaman serius bagi lingkungan dan biodiversitas yang ada, maka Yayasan Puge Figo melakukan uji coba terhadap tanaman tahan api yang direkomendasikan tersebut. Tanaman tahan api yang direkomendasikan berdasarkan hasil Diagnosa Forest ini merupakan tanaman lokal yang dipercaya memiliki resistensi baik terhadap api.
Uji coba 15 jenis tanaman tahan api dilakukan di Wolonelu, salah satu lanskap perbukitan padang sabana yang setiap tahunnya terbakar. Pada 30 Desember 2023, tim reforestasi YPF menanam 375 pohon (15 jenis tanaman tahan api, masing-masingnya sebanyak 25 pohon) disana. Jika kebakaran terjadi di musim kemarau nanti, kita kemudian jadi bisa menilai dan membuktikan resistensi masing-masing jenis tersebut terhadap api.
15 jenis tanaman tahan api tersebut adalah Dalu (Albizia procera), Kupe (Piliostigma malabericum), Kesambi (Schleichera oleosa), Kuku (Schoutenia ovata Korth.), Kembur (Cassia fistula L.), Kedondo (Lannea coromandelica), Kembo (Morinda coreia), Bilas (Dillenia pentagyna), Rita (Alstonia scholaris), Bambu Aur (Gigantochloa apus), Sompeng (Syzygium cumini), Mamis/maja (Aegle marmelos), Dadap duri (Erythina sp.), Mangga Hutan (Magnifera indica), dan Ara Tasi.
Diagnosa Forest telah membantu Yayasan Puge Figo dalam merencanakan program reforestasi dan restorasi yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi di lapangan demi melestarikan lingkungan dan menjaga kehidupan masyarakatnya. Atas kerja baik Diagnosa Forest ini, tak lupa apresiasi disampaikan kepada Germain Vital, Erwin Nawa, serta seluruh masyarakat yang terlibat.
Comentários